Kamis, 01 Desember 2011

Just Because Everything Is Changing



Saya ikut terbangun kala itu. Menjelang Subuh, dimana kucing-kucing pesek dan gemuk di rumah masih tidur dengan lelapnya.
            “Ke Panti Rapih aja, udah! Jangan ke Sardjito. Kemarin udah kesana, ndak sembuh to?”, Nyonya N terdengar berbicara keras kepada seseorang.
            Perlahan saya mengintip dari pintu kamar. Terlihat Nyonya N membantu suaminya berjalan menuruni tangga. Pelan.
            Penasaran dengan apa yang terjadi, saya pun keluar dari kamar.
            “Ibuk, ada apa ya?”
            “Eh.. Mbak Izul, maaf lho Mbak, jadi ikutan bangun. Ini Bapak perdarahan lagi dari hidung. Mau tak bawa ke Panti Rapih, Mbak.”, ibu-ibu berbadan gemuk cantik itu kaget melihat saya keluar dari kamar.
            “Kok tadi saya sempet denger kalau kemarin udah dibawa ke Sardjito ya, ibuk?”
            “Iya Mbak Izul... Kemarin malem kan perdarahan juga. Malah lebih banyak lagi dari sekarang, Mbak. Sampe bantal di kamar berlumuran darah. Nembus sampe ke sprei sama kasur.”
            Nyonya N membetulkan kerudungnya. Dibiarkannya sang suami duduk di ruang tengah sambil menyumpal hidung dengan sapu tangan abu-abu, sementara Nyonya N berbenah diri.
            “Kemarin malem itu tak bawa ke UGD nya Sardjito, Mbak Izul.. Disana ditanganin 2 dokter. Yang satu dari THT, kalau yang satu saya ndak tahu. Eh.. Belum-belum sembuh, malah perdarahan lagi.”, lanjutnya.
            “Mmm...”, saya manggut-manggut sambil mengernyitkan dahi. Ada perasaan bingung dan penasaran dengan apa yang terjadi. Tapi saya memilih diam. Ada perasaan takut untuk berkomentar, takut menyalahi.
            “Kunci mobil dimana ya... Atun... Atun... Ambilin kunci mobil di kamar atas ya..”, Nyonya M memanggil salah satu pembantu di rumah ini.
            Beberapa saat kemudian Mbak Atun turun dari atas dengan membawa kunci mobil, lalu dengan cekatan dia menuju ke depan. Membuka rolling door, lalu terdengar suara mesin mobil dipanasi.
            Pagi itu singkat sekali. Saya hanya bisa menyimak Nyonya N kerepotan menyiapkan diri dan suami sebelum berangkat ke Panti Rapih, mulai dari menyiapkan jaket untuk suami, sampai memastikan dompet dan handphone sudah masuk di tas kulit hitamnya yang cantik.
            “Ayo, Pah... Berangkat sekarang. Dek Ari biar ikut aja.”
            Dan Subuh itu mereka bertiga berangkat menuju Panti Rapih. Nyonya N, suaminya, dan Dek Ari, putri keduanya.
            Terdengar suara mobil kian melemah. Semakin menjauh dari gang rumah. Selama beberapa menit, saya dan Mbak Atun masih berdiri mematung dalam perasaan khawatir dan bingung yang membuncah.
            “Mbak Atun, memangnya Bapak kenapa to?”, saya bertanya pada Mbak Atun sambil berjalan ke ruang tengah.
            “Itu, Mbak Zul... Katanya tensinya Bapak lagi naik. Aku juga ndak ngerti sih... Kemarin pagi, ya jam segini ini mbak, hidungnya Bapak berdarah. Banyak banget, Mbak. Sampe bantalnya basah kena darah, nembus ke sprei juga.”
            Terbayang banyaknya darah yang keluar dari hidung Bapak.
            “Masyaallah, trus udah dibawa ke Sardjito ya, Mbak, katanya Ibuk tadi?”, saya bertanya lagi.
            “Iya Mbak Izul.. Tapi kok ndak sembuh ya. Aku juga ndak ngerti e kanapa..”
            “Mmm... Gitu. Ya udah deh, Mbak. Kita tunggu Ibuk aja ya. Nanti kalau Ibuk pulang, kan.. bisa lebih jelas ceritanya.” , saya berusaha bijaksana.
            Pagi pun habis. Matahari mulai bangun. Seisi kost sepertinya sudah bangun pula. Hari Minggu yang sepi di gang kost kami.
***
            Bapak E usianya sekitar 50 tahun. Beliau seorang kontraktor lepas pantai. Selama sepuluh tahun terakhir, pekerjaan mengharuskan Beliau berpindah-pindah dari satu kota ke kota yang lain di tanah air, dengan batasan waktu yang tidak pasti di setiap kotanya. Kadang baru tiga hari di Bali, besoknya sudah harus terbang ke Medan, ke Jakarta, maupun kota lainnya. Merencanakan pembangun jembatan di dekat pantai, kira-kira jenis pekerjaan macam itulah yang digeluti seorang Pak E. Mungkin ini hanya salah satunya, karena saya juga kurang paham ketika dijelaskan seperti apa kontraktor itu bekerja.
            Semasa muda, Pak E aktif dan rutin berolahraga. Konon, Beliau jago silat. Bukan hanya itu, kebiasaan jogging dan push up Beliau memang luar biasa. Hampir tiap pagi Beliau melakukan kebiasan ini.
            Dalam urusan makanan, masih bisa dibilang sehat karena Pak E tinggal bersama dengan keluarga dan makan masakan rumah. Masakan rumah yang dimaksud adalah menu yang diolah dari sayur, daging, maupun minuman segar yang dimasak oleh seorang pembantu kepercayaan keluarga. Semuanya diolah dengan alami, dan Pak E mengaku jarang makan di luar, apalagi junk food.
            Soal stressor, Pak E merasa saat itu kecil sekali atau hampir tidak ada stressor, mengingat pekerjaan Beliau yang saat itu menjadi dosen di Teknik Sipil UGM dan UII serta tinggal bersama keluarga.
            Status kesehatan saat itu dinyatakan baik, karena Pak E memang tidak memiliki riwayat penyakit metabolik dari keturunan keluarga.
            Namun cerita menjadi berbeda dalam sepuluh tahun terakhir.
            Berawal dari pekerjaan yang beralih dari dosen ke kontraktor, yang ternyata mengubah hampir keseluruhan hidup Pak E.
            Jauh dari keluarga karena profesi ini mengharuskan Pak E tinggal di Jakarta dan  standby on call untuk dikirim kemana-mana. Bukan hanya itu, Pak E juga harus bersedia melayani para tamu yang kebanyakan ingin berkonsultasi. Biasanya tamu-tamu itu datang di sore hari, tak jarang juga di malam hari. Mereka mengajak Bapak untuk berdiskusi yang kira-kira berlangsung satu sampai dua jam. Rata-rata dua atau tiga hari sekali mereka datang menemui Bapak.
            Saya sempat melihat sendiri kala itu. Sewaktu Bapak pulang ke Jogja, masih ada saja yang mencari Bapak untuk berdiskusi. Padahal waktu itu hari Sabtu pagi, waktu dimana Bapak semestinya bisa beristirahat dengan tenang di rumah, terbebas dari beban pekerjaan untuk sementara waktu.
            Bisa digambarkan beratnya stressor Bapak selama sepuluh tahun terakhir.
            Kemudian dalam hal makanan.
            Bapak bercerita bahwa selama sepuluh tahun terakhir ini Beliau mulai mengonsumsi makanan-makanan yang kurang sehat. Fast food yang kebanyakan juga merangkap menjadi junk food, daging binatang berkaki empat yang dimasak dengan santan kental, serta sering mengonsumsi seafood. Kondisi ini begitu saja terjadi tanpa Bapak sadari, karena tidak ada yang mengontrol Bapak tentang menu makanan Beliau. Makanan sering dijatah dari kantor, atau kalau sedang berada di dekat pantai, saat Beliau harus terjun langsung ke lapangan, makanan biasa diperoleh dari rumah makan seafood yang bertebaran di sekitar pantai.
            Stressor yang cukup besar, pola makan yang tidak sehat, dan ada satu lagi kebiasaan Bapak yang berubah. Bapak menjadi jarang berolahraga selama sepuluh tahun terakhir ini. Beliau mengatakan Bahwa durasi tidur yang singkat membuat Beliau tak lagi bisa untuk menyempatkan diri berolahraga. Kalaupun dipaksa, malah sakit badannya. Begitu yang Beliau sampaikan.
            Dari uraian lifestyle di atas, tergambar jelas bahwa Bapak memang beresiko tinggi untuk terkena penyakit metabolik, termasuk hipertensi.
***
Malam hari,
“Ya...Begitu ceritanya, Mbak Izul. Karena semuanya banyak berubah, maka kondisi kesehatan saya pun berubah.”
Bapak berdehem.
“Hal-hal semacam ini begitu sulit dihindari, Mbak Izul... Nanti Mbak mungkin akan merasakan juga, kalau sudah bekerja dan berkeluarga. Mau hidup ideal, susah.”
Saya belum berani angkat bicara.
“Dua malam yang lalu, saya sudah perdarahan juga dari hidung.”, Bapak melanjutkan.
“Dibawa ke Sardjito ya, Pak?”, saya pun akhirnya berani bertanya.
“Iya. Saya ditangani dua orang dokter. Yang satu dari THT, mbak Izul. Satunya saya lupa. Dikasih kassa juga biar perdarahannya berhenti, sama dikasih obat pas pulangnya. Ternyata ndak sembuh, malah kambuh lagi perdarahannya.”
Saya terdiam. Mendengar Sardjito disebut membuat saya enggan berkomentar. Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Ragu karena serba tak tahu. Tak tahu tindakan dan obat apa yang sudah diberikan. Tak tahu apakah perdarahan kedua yang dialami Bapak memang terjadi karena obatnya tidak manjur-seperti yang Beliau keluhkan, atau karena faktor lain. Bisa jadi tekanan darah Bapak memang sangat tinggi dan obat belum bekerja maksimal. Bisa jadi malam kedua Bapak kecapekan lagi, lalu tensinya naik lagi. Semuanya serba tak pasti.
“Trus di Panti Rapih diapain ya, Pak?”
“Saya ditangani seorang dokter yang sudah senior, Mbak Izul.. Kelihatan lebih tua dari saya. Dokternya kelihatan lebih cekatan dan penanganannya bagus.”, Bapak menekankan  kata terakhirnya. Bagus.
 “Ohya, Pak.. tensinya berapa ya kemarin?”
“Dua malam yang lalu, sewaktu di Sardjito sekitar 190/130. Pas perdarahan kedua, di Panti Rapih, ndak banyak berubah, Mbak Izul.. Kira-kira masih segitu juga. “
Saya terdiam lagi. Enggan. Sungkan. Ndak enakan.
Percakapan demi percakapan kami berikutnya lebih bersifat candaan. Sampai kira-kira pantas, saya pun undur diri.
“Semoga lekas sembuh ya, Pak.. Kalau bisa, Bapak banyak beristirahat saja. Diberi cuti kan, Pak?”
“Iya Mbak Izul. Saya tadi sudah minta surat keterangan biar bisa cuti.”
Perlahan saya meninggalkan Bapak di ruang tengah. Kembali ke kamar. Cerita Bapak membuat saya berpikir macam-macam.
Karena semuanya berubah...

-SELESAI-



Tanggapan
Menurut pendapat saya,terkadang penyakit itu seperti pain (nyeri). Alarm akan datangnya sakit bisa berbeda-beda untuk setiap orang. Ada orang yang sangat peka dengan sakit, misalnya perempuan. Hanya tertusuk jarum saja sudah mengeluh dan mengaduh. Beberapa wanita mungkin menangis karenanya. Tapi untuk sebagian orang yang lain, sakit seringkali diabaikan. Mereka cenderung menganggap sakit adalah hal yang biasa saja sehingga tidak perlu diekspresikan dengan bahasa maupun tingkah lakunya. Kesimpulannya, sakit adalah sensasi subjektif yang tidak bisa memprediksi seberapa besar keparahan penyakit yang diderita oleh pasien tersebut.
Dalam kasus ini, Bapak adalah pribadi yang kuat dan mungkin kurang peka dan kurang perhatian dalam hal penyakit yang Beliau derita.
Bapak mengatakan bahwa sebelum perdarahan di hidung, Beliau tidak merasakan apa-apa. Sama sekali tidak pusing seperti kebanyakan pasien hipertensi pada umumnya.
            Semuanya begitu tiba-tiba, begitu Beliau mengungkapkan kepada saya. Bahkan Beliau juga sempat kaget dengan tensi yang mendadak segitu tingginya.
            Dari contoh kasus ini, kita bisa belajar untuk lebih perhatian dengan kondisi badan kita sendiri. Jangan terlalu asyik dengan pekerjaan sampai lupa mengontrol kesehatan. Jangan buru-buru mengabaikan perasaan sakit yang datang, karena bisa jadi tubuh kita memang sedang didatangi penyakit.
            Moral value berikutnya.
            Penyakit metabolik seperti hipertensi, diabetes, dan hiperkolesterolemia adalah penyakit yang sebenarnya bisa dicegah. Dari contoh kasus ini, kita bisa melihat bahwa hipertensi yang Bapak derita muncul karena perubahan lifestyle selama sepuluh tahun belakangan. Perubahan pola makan, dari masakan rumahan yang sehat menjadi masakan luar yang serba cepat. Perubahan aktivitas fisik, dari yang rajin olahraga menjadi sedentary, serta yang terakhir adalah perubahan lingkungan psikologis dimana stressor meningkat. Tiga faktor ini berperan cukup besar dalam munculnya penyakit metabolik.
            Bagi kita, hendaknya pola hidup sehat harus terus dijaga. Tidak perlu menunggu sampai sakit, tapi mulailah saat ini juga. Karena penyakit metabolik munculnya memang perlahan, dimana kalau sudah terkena, penyembuhannya membutuhkan waktu yang lama juga.
            Mulailah dengan cara yang sederhana. Diupayakan mengkonsumsi masakan rumahan yang masih alami. Upayakan makanan yang mengandung sayur juga. Kemudian dalam hal aktivitas fisik, kalau bisa harus selalu ada. Minimal berjalan kaki ke kampus kalau memang waktunya tidak ada. Biasakan untuk tidak manja. Sedangkan dari faktor stressful living, mungkin kita bisa melibatkan orang lain untuk meringankan beban pikiran yang ada. Diusahakan selalu ada komunikasi dengan keluarga dan sahabat baik. Penyakit mental seringkali muncul pada pribadi yang enggan terbuka.
            Komentar terakhir saya adalah seputar pelayanan kesehatan. Dalam kasus ini, Bapak berpendapat bahwa pelayanan RS Sardjito kurang memuaskan, dan pelayanan RS Panti Rapih jauh lebih baik. Saya kurang sependapat dalam hal ini. Ada banyak hal lagi yang harus diperhatikan dalam memberi penilaian terhadap kualitas pelayanan kesehatan di rumah sakit. Kemungkinan perdarahan kedua yang dialami Bapak karena obat penurun tekanan darah yang diberikan belum bekerja maksimal. Kemungkinan yang lainnya, Bapak kecapekan lagi pada malam kedua, karena pada waktu itu Beliau mengaku masih membaca buku sampai larut malam. Jadi, pendapat tentang pelayanan di RS Sardjito kurang memuaskan, masih perlu dikaji ulang. Barangkali hanya fasilitas-fasilitas pendukungnya saja yang berbeda, tapi tidak dengan kualitas dokternya.
***